Jumat, 29 April 2011

SEPENGGAL SAPA


Selamat Datang, Sugeng Rawuh, Rahajeng Rawuh, Wilujeng Sumping, Welcome di blogspot saya. 

Kalau anda baca judul blog ini (TELANJANG) saya berharap tidak ada konotasi negatif, karena ketelanjangan itu adalah sesuatu yang netral, persepsi manusia lah yang menimbulkan makna yang beraneka. Jangan pula masuk ke blog ini dalam rangka mencari gambar atau tulisan yang berbau pornografi, karena anda tak akan menemukannya. Tetapi, kalau anda kebetulan masuk ke blog ini karena awalnya sedang mencari item-item pornografi, tak usahlah anda pergi dari blog ini. Mari kita berbagi informasi, berdiskusi, pasti akan ada yang bisa kita maknai.


Semoga lewat blog ini saya bisa berbagi dan belajar dengan anda semua tentang apa saja, karena dengan berbagi dan belajar bersama kita tak akan jadi miskin, melainkan akan semakin diperkaya. Terima kasih, matur nuwun, matur suksma, hatur nuhun, thank you.

Kamis, 28 April 2011

AHIMSA


Ahimsa,
satu tulisan yang tergores di kaca depan dan kaca belakang gerobak yang dititipkan Allah padaku.

Sebagian keluarga, teman, tetangga atau orang-orang yang kujumpai memahami makna kata itu. Tapi, banyak pula yang tak paham, dan sebagian kemudian bertanya.

Ahimsa,
adalah salah satu dari nilai-nilai yang digunakan oleh Mahatma Gandhi dan gerakan-gerakan rakyat India dalam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Inggris.

Ahimsa,
adalah komitmen untuk berjuang tanpa kekerasan dalam memperjuangkan kemerdekaan itu.
Maka,
ketika Gandhi dan rakyat India melakukan aksi-aksi unjuk rasa dalam rangka perjuangannya itu,
mereka tetap membiarkan diri dan tidak melawan dengan kekerasan saat tentara penjajah memukuli mereka.
Secara bersap (bergandengan dalam ikatan 3-5 orang) mereka maju ke depan, dipukuli hingga terkapar, lalu ditolong para relawan (kebanyakan perempuan), dan kemudian digantikan barisan berikutnya. Demikian seterusnya aksi perlawanan tanpa kekerasan itu dilakukan (seperti tergambar di film Gandhi yang dibintangi Ben Kingsley).

Ahimsa,
anti kekerasan.

Sebagian tak puas dengan penjelasan itu, dan lanjut bertanya: Apakah aku pribadi yang tak pernah melakukan kekerasan?

Dengan jujur aku jawab: Aku pribadi yang punya kerapuhan juga, sehingga tak terelakkan pernah (mungkin sering) pula melakukan tindak kekerasan, di dalam keluarga, di masyarakat, di tempat kerja, … di mana saja. Tindak kekerasan itu bisa bersifat fisik (menempeleng, memukul, melempar, dll.), bisa pula bersifat psikhis (mencaci maki, melecehkan, menyakiti hati, dsb.).

Aku bukan pribadi sempurna yang telah lulus untuk tidak lagi melakukan tindak kekerasan dalam hidup ini. Tapi, aku pribadi yang ingin belajar dan belajar, menepis, mengurangi bahkan jika bisa meniadakan tindak kekerasan dalam perilaku hidupku.

Agar aku bisa terus belajar, maka kutuliskan Ahimsa di kaca depan dan kaca belakang gerobak yang dititipkan Allah padaku, agar aku sesering mungkin bisa ingat untuk belajar tentang hal itu.

Ketika kaki terikat ...


Ada seseorang yang tengah berjalan,
dalam pengembaraan yang diwarnai perenungan-perenungan,
tentang berbagai kasunyatan pahit di sekitarnya:
tentang orang-orang kecil yang diabaikan,
tentang anak-anak yang ditelantarkan
tentang para perempuan yang dibiarkan mempertaruhkan nyawanya
saat menunaikan tugas kehidupan … mengandung – melahirkan dan membesarkan anak-anak
masa depan.

Sesekali hati dan pikirnya tergugah,
menyambangi mereka yang terpinggirkan itu,
tapi cuma sesekali itu terjadi,
bahkan cuma sesaat,
karena …
kakinya terus terikat
oleh berbagai beban, oleh berbagai tanggung jawab
yang juga tak boleh diabaikan, ditelantarkan dan dibiarkan.

Adakah waktu untuk berbagi?
Adakah waktu untuk memilih keberpihakan?
Adakah waktu untuk bersama-sama melepaskan beban yang mengikat kaki itu,
lalu menyatukan diri … dengan mereka yang diabaikan – ditelantarkan dan dibiarkan itu.

Jakarta, 28 April 2011.

Rabu, 13 April 2011

OJO PODHO KEPLOK ...


Sering, bahkan hampir selalu, jika ada pemimpin (khususnya pemimpin politik) menyampaikan pidato yang merespon aspirasi rakyat, maka rakyat terus-menerus bertepuk tangan dengan sumringah. Di kampanye-kampanye, di pertemuan-pertemuan publik, di rapat-rapat pemerintahan, di sidang dewan, di mana saja, peristiwa ini terjadi dan terjadi lagi.

Padahal, ... berulang kali telah banyak terbukti, bahwa pidato-pidato yang dikemas merespon aspirasi rakyat itu, belakangan hanyalah janji-janji gombal yang tak terbukti. Bukan hanya menguap seiring waktu sekian hari, minggu, bulan dan tahun; bahkan ada yang hanya dalam hitungan jam semua isi pidatonya itu menguap dan berlanjut dengan sikap dan tindakan yang baru yang berbalik total dari pidato yang baru saja disampaikan dan dikeploki itu.

Jadi, mestinya kalau mendengar pidato serupa itu ya: OJO PODHO KEPLOK !!!

Kamis, 01 Juli 2010

MENGUNDANG ATAU MENGUNJUNGI?

MENGUNDANG ATAU MENGUNJUNGI,
MANA PILIHAN ANDA?

Terhadap saudara yang berbeda tempat tinggal atau teman yang jauh rumahnya, bila sesekali anda bertemu dengannya, manakah yang sering anda sampaikan kepadanya: Mengudangnya untuk datang ke rumah anda? Atau, mengatakan rencana anda untuk mengunjungi rumahnya?

Dari segi maknanya, bisa dikatakan sama-sama besar maknanya. Mengundang saudara atau teman datang ke rumah berarti anda menunjukkan kemauan untuk menjamunya di rumah anda. Mengunjungi saudara atau teman di rumahnya berari anda menunjukkan kepedulian untuk mengenali rumah, keluarga dan kehidupannya.

Tapi, ada sisi lain yang sebetulnya perlu kita cermati, sehingga pada akhirnya kita bisa melihat dimensi yang membedakan secara signifikan makna mengundang dan mengunjungi.

Mengundang berarti “memaksa” saudara atau teman “bergerak menuju diri anda”. Mungkin, bagi saudara atau teman anda yang kebetulan punya banyak waktu dan fasilitas “paksaan” untuk “bergerak menuju diri anda” itu tak menjadi persoalan. Bahkan, mungkin ada saudara atau teman anda yang justru sangat suka “bergerak”, sehingga sangat senang ketika anda “memaksanya bergerak”. Namun, mungkin pula bagi saudara atau teman anda yang minim waktu dan fasilitas, “bergerak menuju diri anda” akan menyita: waktu, fasilitas dan biaya serta bisa pula emosinya (bayangkan kalau untuk menuju ke anda dia harus melewati kemacetan/jauh/panas, dsb.).

Sebaliknya, mengunjungi berarti “memaksa” diri untuk “bergerak menuju saudara atau teman anda”. Mungkin, langkah ini gampang anda lakukan karena punya banyak waktu dan fasilitas. Dan mungkin juga sangat menyenangkan anda, karena anda memang suka “bergerak”. Namun, mungkin pula anda akan mengalami kesulitan besar karena: waktu terbatas, tak punya fasilitas dan biaya untuk mengunjungi dan mesti melewati situasi yang mengundang emosi itu, misalnya: kemacetan dan cuaca yang panas.
Sampai di sini, kelihatannya tetap sama maknanya. Namun, bila kita menggunakan pengukur atau penimbang berikut ini, mungkin jawaban kita akan berbeda: MANAKAH YANG LEBIH MULIA, MENJAMU SAUDARA/TEMAN DI RUMAH DENGAN MEMBEBANINYA UNTUK TIBA DI RUMAH ANDA atau MEMBEBANI DIRI UNTUK MEMBAHAGIAKAN SAUDARA/ TEMAN KARENA KEPEDULIAN ANDA PADANYA?

Pilihan pertama mungkin akan menghasilkan kunjungan saudara/teman anda ke rumah anda sekali atau beberapa kali ... tapi (mungkin) sebenarnya anda telah “menyiksanya” atau paling tidak “sedikit membebaninya”.

Pilihan kedua, bergantung anda, bisa menghasilkan kunjungan anda ke saudara/teman anda sekali atau beberapa kali ... dengan sedikit kemungkinan nuansa “siksa” dan “beban” karena sebagai pihak yang “bergerak” telah mengikhlaskan dan mengikhtiarkan diri untuk “bergerak”. Akan menjadi lebih lengkap bila kunjungan anda telah mendapat persetujuan awal dari saudara/teman anda sebelum anda menemuinya, bahkan mungkin telah sepakat untuk dijamu apa adanya bahkan tidak dijamu sesuai kemampuan saudara/teman anda.

Jadi, ke depan nampaknya akan lebih indah bila kita masing-masing mencanangkan dalam diri kita: “Aku akan mengunjungi saudara/teman lebih banyak daripada mengundang saudara/teman.” Mungkin!

Jumat, 23 April 2010

MASIHKAH ADA HARAPAN?

Masihkah ada harapan cerah di negeri ini? Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun sepanjang hidupku, aku merenungkan itu?
Dan, ... sebagian besar berakhir dengan: pesimisme dan ketidakyakinan.

Cobalah kita lihat, setiap masa melahirkan para aktifis idealis yang dengan lantang dan meyakinkan melawan ketidakadilan, ketidakbenaran, ketimpangan dan banyak hal yang harus dibenahi di negeri ini. Tapi, masa demi masa berlalu, teriakan lantang dan meyakinkan itu berlalu, bahkan sebagian yang berteriak lantang dan meyakinkan itu juga tenggelam dalam ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketimpangan.
Maka, ketika suatu masa bergema semangat PANGKAS SATU GENERASI, aku langsung berkeyakinan itu bukan solusi. Karena pergantian generasi telah memberi bukti nyaris tak ada perubahan berarti atau bahkan lebih ngeri.

Korupsi semakin nggegirisi (bahasa Jawa, artinya: menakutkan, mengerikan) menggerogoti negeri.
Bukan hanya besarnya uang yang dikorupsi, tetapi juga jumlah orang yang melakukan korupsi semakin bertambah dan bertambah. Saya juga ketularan, minimal korupsi waktu kerja, seperti saat menulis catatan ini.

Sekarang ini, di mana bisa kita temui lembaga yang benar-benar bebas korupsi. Di dunia konglomerasi, birokrasi, sampai ke organisasi-organisasi, kampus, sekolah bahkan di dalam keluarga sekalipun.

Bukan hanya korupsi, tetapi juga kriminalitas yang lain, pelanggaran HAM, KDRT dan banyak lagi.
Duh Gusti, jaman apakah ini? Jaman edan? Bukan! Karena semua melakukannya dengan penuh kesadaran, bukan karena gila.

Menegur dan mengingatkan juga nyaris tak lagi berguna. Sebagian karena tak didengar, sebagian didengar tapi tak dilakukan, sebagian dijawab: Ah, semua melakukannya kok, mosok saya harus bersih sendirian.

Lembaga-lembaga keagamaan juga nyaris tak mampu berkontribusi. Orang-orang berbondong-bondong dan rajin sembahyang, ibadah dan manggut-manggut mendengarkan kotbah bahkan kadang berlinangan air mata, tetapi sesaat kemudian lupa atau menutup mata melihat atau bahkan melakukan kejahatan.

Jadi, apakah kita hanya bisa terdiam, menunggu, dalam ketidakpastian dan pesimisme, sembari mengingat petuah Jawa kuno: Hamenangi jaman edan, yen ora edan ora keduman, nanging sak beja-bejane sing lali isih luwih beja sing eling lan waspada. Lalu terdengarlah para warga yang miskin dan tertinggal bersenandung tembang begini: Cilik mula cilaka wak mami, manggung dadi lakon, nista papa wus nglakoni kabeh, amung loro kang durung nglakoni: mukti klawan mati, pundi marginipun? 
[Sedari kecil sengsara hidupku, selalu jadi pelaku (penderita), hidup penuh nista dan papa sudah dirasakan semua, cuma dua yang belum dirasakan: hidup berada dan mati, di manakah jalannya?]
Jalan untuk hidup lebih baik sulit ditemui, bahkan jalan untuk mati pun tak mudah didapatkan, tentunya mati dengan harkat kemanusiaan yang selayaknya.

Duh Gusti!

Kamis, 22 April 2010

MATI KARENA "BENCANA ALAM"

Ada teman yang bertanya kepada saya, bagaimana kaitan antara tulisan saya tentang kematian dengan peristiwa kematian karena "bencana alam"?

Sebelum masuk ke content tulisan ini saya kepingin mengajukan pendapat saya, bahwa istilah "bencana alam" menurut saya kurang tepat. Yang lebih tepat adalah peristiwa alam, karena ia adalah proses alam dalam mencari keseimbangannya. Kalau toh menjadi bencana adalah karena ada manusia yang menjadi korban atas peristiwa alam itu. Namun demikian, peristiwa alam itu sendiri bersifat netral sebagai suatu peristiwa alam, di mana alam mencari keseimbangannya.

Apakah mereka yang meninggal memang sudah sejak awal dijatahkan oleh TUHAN untuk mati dengan cara terlanda peristiwa alam? Menurut saya tidaklah demikian. Menurut saya, manusia yang meninggal karena persistiwa alam semata-mata karena dia/mereka dan manusia lainnya belum mampu menghadapi efek dari peristiwa alam yang terjadi yang mengakibatkan tubuhnya hancur atau tergencet atau tertimbun, sehingga TUHAN melihat nyawa yang dititipkannya pada raga orang itu tak layak lagi untuk dititipkan, maka dicabutnya nyawa itu dari raga itu.

Semoga ke depan manusia semakin mampu menyesuaikan dengan peristiwa alam, sehingga tidak jatuh banyak korban. Namun, bagaimana pun juga TUHAN punya hak prerogatif yang tak bisa dilawan manusia, seperti halnya peristiwa pembangunan menara Babel, di mana manusia dengan keangkuhan teknologinya hendak melawan TUHAN, maka TUHAN murka dan dihancurkanlah menara itu.

Rabu, 21 April 2010

SALING MENUNGGU UNTUK BERUBAH

Sangat sering kita jumpai kebiasaan-kebiasaan buruk di kehidupan kita, seperti: buang sampah sembarangan, terlambat hadir ketika mengikuti suatu kegiatan, merokok di tempat umum, dan lain-lain.

Kebiasaan-kebiasaan buruk itu masih dilengkapi dengan tambahan jawaban yang lebih buruk lagi bila diingatkan untuk menghentikannya, yakni jawaban: Ah, yang lain juga begitu. Nanti kalau yang lain sudah berhenti, baru saya juga berhenti. Nah, sialnya kebanyakan atau bahan semua orang menggunakan alasan yang sama, sehingga akibatnya semua orang secara tak langsung saling menunggu, dan akibat akhirnya perubahan menuju kondisi yang lebih baik nyaris tak terjadi.

Mestinya setiap individu punya komitmen begini: Okay, saya akan mulai memperbaiki diri, mulai dari saya. Nah, jika semua individu atau sebagian besar atau minimal sebagian kecil berkomitmen seperti ini, tentunya akan ada gerakan (minimal kecil) menuju proses perubahan ke arah yang lebih baik.

Maka, marilah mulai menata kehidupan yang lebih baik MULAI DARI DIRI KITA. Semoga.

Selasa, 20 April 2010

SANG MOTIVATOR

Para pelaku pemberdayaan masyarakat sering bertanya-tanya: Sudah lama program pemberdayaan masyarakat digulirkan, tapi kok masih banyak masyarakat tak berdaya?

Banyak teman yang sering berbagi rasa: Mengapa saat kita mengikuti sajian seorang motivator kita terperangah ataupun manggut-manggut merasa menemukan pencerahan baru, tapi toh kita tak banyak menemukan perubahan yang lebih baik secara signifikan dalam hidup kita?

Ada jawaban guyon yang ingin saya bagikan kepada anda. Pemberdayaan masyarakat tak kunjung memampukan masyarakat menjadi mandiri, karena yang digunakan adalah WAHANA PEMBERDAYAAN. Namanya WAHANA atau KENDARAAN atau WADAH ya hanya MEMBAWA saja, belum tentu sampai kan?
Para motivator juga biasa menggunakan kata LANGKAH, CARA atau WAYS. Istilah LANGKAH atau CARA atau WAYS ya hanya TAHAPAN MENUJU saja, belum pasti akan sampai kan?

Lalu, jawaban yang serius apa? Jujur saja, saya tak tahu jawabannya. Jika saya mengatakan bahwa belum tercapainya tujuan karena masyarakat kurang optimal memanfaatkan wahana atau langkah atau cara atau ways, sepertinya saya sedang menyalahkan masyarakat dan membela para fasilitator pemberdayaan dan para motivator.

Mungkin, solusi paling tepat adalah berefleksi bersama dengan para fasilitator dan motivator tentang apa yang keliru dalam upaya-upaya yang telah dilakukan? Atau melakukan kajian bersama masyarakat untuk menemukan jawaban yang sebenarnya.

KESETIAAN DALAM KOALISI DAN INSTITUSI

Saat-saat pembahasan keputusan Pansus Bank Century di DPR, salah satu hal yang mencuat adalah sejauh mana kesetiaan anggota koalisi. Kesetiaan itu diukur dari apakah anggota koalisi memilih opsi yang sama dengan pemimpin koalisi.

Ya, di dalam dunia politik seringkali dimengerti bahwa kesetiaan terukur dari komitmen untuk tidak berseberangan dengan sang pemimpin ataupun wadah koalisi.

Tapi, tak hanya di dunia politik, di dunia usaha pun seringkali kesetiaan pada diukur dari sejauh mana seseorang terus membela dan tak mencela lembaga atau perusahaan tempatnya bekerja.

Apakah semestinya demikian?

Beberapa politisi menggunakan analogi pernikahan. Lalu, disebutnya bahwa anggota koalisi yang tak setia dengan pilihan pemimpin koalisi adalah bagaikan seorang istri yang berselingkuh mengkhianati suaminya.

Saya sama sekali tak setuju dengan analogi ini. Karena, benarkah seorang istri tak boleh berbeda pendapat dengan suaminya? Betapa kelirunya kalau pendapat tersebut dibenarkan. Coba simak contoh ini: Seorang istri yang tak suka suaminya merokok dan meminta suaminya berhenti merokok, apakah itu tandanya istri tak setia pada suami? Bukankah ini justru contoh istri yang sangat peduli pada suami? Contoh lain bisa banyak dicari dan ditemui.

Jadi, jika tetap menggunakan analogi suami - istri, maka sebetulnya dalam tatanan koalisi maupun hubungan kerja dalam institusi, anggota koalisi (dalam koalisi) dan pekerja (dalam institusi) yang sering atau suka atau sesekali memberikan kritik dan berbeda pendapat dengan pemimpin koalisi atau institusi tidaklah bisa divonis sebagai tidak setia dan berselingkuh. Pribadi-pribadi seperti ini bisa jadi justru sumber masukan bagi perbaikan bagi koalisi dan institusi. Mereka jauh lebih baik dibandingkan yang terus membisu, sementara hatinya mendongkol. Mereka jauh lebih baik dibandingkan mereka yang bila kecewa langsung kabur melarikan diri.

Wahai para pemimpin (koalisi dan institusi), hargailah mereka yang berbeda pendapat dan memberi kritik kepada koalisi dan institusi.

DW

"Roda kehidupanku telah berhenti. Temanku hanyalah sedih sunyi. Aku bermadah untuk mencumbu sepi. Akankah nyanyi usir perih bergulir pergi?"
Puisi pendek itu ditulis oleh (almarhum) sahabat sekaligus guru saya bernama DJOKO WITARKO yang akrab dipanggil banyak temannya sebagai DW.
Ditulis di saat ginjalnya hanya tinggal berfungsi sekitar 5%, sehingga seminggu 2 kali dia harus melakukan terapi cuci darah, suatu kondisi yang seringkali membuat penderita gagal ginjal merasa hidupnya tak lagi punya arti.

Walau puisinya menuangkan jeritan yang seolah hidupnya tiada arti lagi, namun saya menemukan pengalaman-pengalaman yang sebaliknya dalam perjalanan hidupnya. Tahun 2002, kami berdua memfasilitasi pelatihan untuk mitra-mitra program ACCESS - AusAID di Bali, meskipun kedua matanya tak berfungsi dengan baik. Tahun 2006 dan 2007 saya diajaknya memfasilitasi beberapa pelatihan bersama Dutchbank dan BINA SWADAYA untuk LSM-LSM di NAD dan juga bersama Depnakertrans untuk beberapa komunitas transmigran. Dengan mengatur jadwal, menyesuaikan jadwal cuci darah yang mesti dilakukannya, dia terus berkomitmen untuk pemberdayaan masyarakat yang menjadi lahan pengabdian hidupnya. Ia menegaskan, bahwa dengan keterbatasannya, seorang penyandang gagal ginjal tetap bisa berkarya untuk sesama. Dan, ia pun mengkampanyekan hal itu dengan mengunjungi mereka yang menyandang gagal ginjal. Saya pernah diajaknya mengunjungi seorang penyandang gagal ginjal di Medan. Dan saya juga pernah mendengar ceritanya ketika ia membatalkan kehadirannya dalam acara ulang tahun ke 70 salah satu tokoh pemberdayaan masyarakat yakni pak BAMBANG ISMAWAN, juga karena ada seorang penderita gagal ginjal yang ingin ia berkunjung ke rumahnya. Pengabdian kepada sesama tanpa henti, tanpa terhalang raga yang ringkih.

Bukan itu saja, catatan yang diberikannya kepada saya. Catatan lain yang teramat berharga darinya yang selalu saya coba tanamkan dalam diri saya adalah: Hemat dan cermat berbicara. Berbicaralah yang benar-benar bermanfaat bagi kehidupan bersama, dan jangan melukai sesama. Catatan yang tak terlupakan pula adalah: Hargailah siapa pun yang kau temui, karena dari setiap perjumpaan kita bisa belajar, memperoleh pencerahan dan bekal hidup untuk kehidupan yang lebih baik ke depan.

Mas DW telah pergi, tapi nilai-nilai dirinya tetap tinggal di hati, semoga bisa kuikuti sembari kulengkapi.

Senin, 18 Januari 2010

LOWONGAN KERJA


Frasa LOWONGAN KERJA mungkin merupakan satu dari sedikit frasa yang sangat populer dalam kehidupan manusia. Ini wajar, karena dalam kehidupannya, manusia tidak bisa tidak haruslah mencari dan mencari pekerjaan, baik untuk mencari penghasilan ataupun untuk aktualisasi diri. Dalam rangka mencari pekerjaan itu, manusia sangatlah sensitif dengan frasa LOWONGAN KERJA. Setiap hari selalu ada orang yang mencari dan mencari LOWONGAN KERJA. Karena populernya frasa tersebut, maka frasa ini bisa juga digunakan untuk memandu orang lain masuk ke tempat kita. Coba, misalnya di depan kantor kita taruh tulisan ADA LOWONGAN KERJA. Kemungkinan besar, bahkan ada yang mengatakan pasti, akan datang orang ke kantor kita dan menanyakan tentang lowongan kerja itu. Karenanya, ada yang membisikkan kepada saya untuk membuat tulisan ini, lalu menempatkannya di blog saya, sehingga kalau ada orang masuk ke mesin pencari lalu menjelajah untuk menemukan LOWONGAN KERJA, ada kemungkinan orang tersebut masuk ke blog saya. Nah, bila anda adalah salah satu dari orang tersebut, janganlah marah. Marah tak akan menyelesaikan masalah. Lebih baik anda melanjutkan penjelajahan ke blog saya, siapa tahu anda ketemu ilham untuk menciptakan pekerjaan atau menemukan pekerjaan. Minimal, saya akan berdoa untuk kesuksesan anda, kesuksesan kita semua.

PASTI PAS


Kalau kita hendak mengisi BBM di SPBU, kita sering ketemu label PASTI PAS. Label ini memang tidak melekat di setiap SPBU, karena nampaknya perlu proses administratif tertentu untuk memperolehnya.

Yang menjadi pertanyaan saya justru tentang ketepatan penempatan label tersebut pada SPBU-SPBU tertentu. Sebab, kalau tidak salah semua SPBU alat ukurnya selalu ditera secara periodik oleh lembaga metrologi. Nah, kalau sudah ada institusi tertentu yang melakukan pengontrolan terhadap ketepatan alat ukur di SPBU, mengapa masih ada labelisasi PASTI PAS? Apakah hal ini tidak akan menimbulkan tafsir, bahwa yang tidak pakai label PASTI  PAS itu tidak pas pengukurnya. Lha, kalau ada yang tidak pas, bagaimana dengan tera yang dilakukan lembaga metrologi? Bingung saya!

JANGAN GUNAKAN KATA MARKUS


Belakangan ini kata MARKUS sering digunakan untuk menyingkat sebutan MAKELAR KASUS. Penggunaan kata MARKUS untuk menyingkat MAKELAR KASUS tidaklah santun/sopan, karena MARKUS adalah nama salah satu murid YESUS yang tentunya sangat dihormati umat Kristiani, sementara MAKELAR KASUS adalah sebutan untuk individu yang melanggar hukum.

Keberatan serupa layak juga diangkat untuk penggunaan kata PETRUS sebagai singkatan PENEMBAKAN MISTERIUS, karena PETRUS juga salah satu murid YESUS, sementara PENEMBAKAN MISTERIUS merupakan tindakan melanggar hukum. Daftar ini bisa terus diperpanjang, karena ada pula singkatan-singkatan lain yang kurang santun/sopan, sehingga bisa menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu.


Mari, kita cari singkatan-singkatan yang tak menyinggung.

Rabu, 16 September 2009

Sajak Pendek: Ketika Kekasih Pergi



Di belantara sepi, nyanyi jadi penyejuk hati.
Di belantara tangis, kurindu kau tersenyum manis.
Di belantara gelisah, kuharap bisa berbagi resah.
Di belantara kembara, sapa adalah telaga bagi dahaga jiwa.

Apakah aku bisa istirah?
Resah bertumpuk, tangis jadi irama keseharian, sepi selalu menghiasi malam.
Apakah kau akan datang menyapa?
Di beranda ini kau kutunggu.
Di beranda ini kau kunanti.
Di beranda ini aku termangu.

Di beranda hati, kau tak pernah pergi.


Keterangan foto:
Lampu hias karya seniman Ubud, Bali.

Selasa, 15 September 2009

NEGERI JIRAN, BELAJARLAH KE LOMBOK

Di Lombok - Nusa Tenggara Barat, ada iklan pariwisata seperti ini: Di Bali anda bisa melihat Bali, di Lombok anda bisa melihat Lombok dan Bali. Ya, memang demikian. Di Lombok kita bisa mengunjungi dan melihat keindahan alam yang menakjubkan (Pantai Senggigi, Pantai Kuta - Lombok, Tanjung An, Gunung Rinjani dan Danau Segara Anak, Gili Trawangan, dll.), keindahan budaya masyakarakat Sasak, warga asli pulau Lombok (tenun ikat, kerajian ukiran, seni tari perang prisean, seni musik gendang beleq, bau nyale, dll.); bersamaan itu pula kita bisa melihat keindahan budaya Bali yang "ditampilkan" warga keturunan Bali yang kebanyakan tinggal di belahan barat pulau Lombok.  Jadi, di Lombok kita juga bisa melihat sepinya Nyepi, upacara ngaben, dan bentuk-bentuk budaya Bali lainnya.
Sungguh suatu kecerdikan sekaligus kearifan yang luar biasa dalam iklan tersebut. Cerdik karena memanfaatkan secara bertanggungjawab potensi Bali untuk menyedot wisatawan datang ke Lombok. Arif karena masyarakat dan pemerintah di Lombok tidak melakukan claim atas budaya yang berasal dari suku lain.
Mengapa negeri jiran tidak belajar cerdik dan arif seperti itu? Misalnya membuat iklan pariwisata seperti ini: Di Indonesia anda bisa melihat Indonesia, di negeri kami anda bisa melihat negeri kami dan Indonesia sekaligus. Jika iklan pariwisatanya seperti ini mestinya tak akan ada keberatan bangsa kita, bahkan mungkin ikut berbangga, karena negeri kita dihargai keberadaannya dan nilai lebihnya. Jadi, bagaimana saudara-saudara di negeri jiran, apakah kita bisa hidup bersama dengan lebih cerdik dan arif?

Keterangan:
Foto/image diunduh dari internet, dengan segala permohonan ijin kepada pemiliknya.

Sabtu, 12 September 2009

MENGAPA KEMISKINAN TETAP ADA?

Beberapa waktu belakangan ini, saya sering ketemu dengan teman-teman dan memperbincangkan satu topik: Kita (bangsa Indonesia) sudah sekian lama bergelut menangani kemiskinan, tetapi kelihatannya tak banyak perubahan siginifikan yang dihasilkan. Beberapa kalangan bahkan menyebut kemiskinan semakin bertambah. 

Tulisan ini tak ingin masuk ke dalam polemik bertambah atau tidak jumlah orang miskin, karena saya tak punya data akurat untuk ikut berdebat.

Tulisan ini hanya ingin menyampaikan pendapat tentang beberapa hal yang berkontribusi atas 'lestarinya' kemiskinan di negeri kita.

Dalam pandangan saya, minimal ada 2 (dua) hal yang berkontribusi terhadap langgengnya permasalahan kemiskinan, yakni: MENTALITAS dan SISTEM.

MENTALITAS yang saya maksud adalah mentalitas warga negeri ini yang terkait langsung dengan pemiskinan. Mentalitas yang memiskinkan ini ada pada warga yang tidak miskin, tetapi juga warga miskin itu sendiri. Di kalangan warga tak miskin berkembang mentalitas untuk terus memperkaya diri dan menguasai asset sebanyak mungkin, termasuk mencaplok atau mengambil alih asset-asset warga miskin. Sangat jelas tersaji di depan kita, bagaimana kebun-kebun, sawah-sawah dan tempat tinggal warga menengah dan miskin beralih kepemilikan ke orang-orang kaya. Warga-warga menengah dan miskin pun banyak yang kemudian hanya menjadi buruh atau pengontrak di lahan yang semula adalah miliknya. Proses ini terus berlanjut, karena warga yang kaya tak kunjung sadar diri dan berhenti melalukan akuisisi, melainkan terus bergerak atas nama ekspansi usahanya, sementara warga miskin merelakan asset-assetnya pergi begitu saja, sebagian dengan alasan kesulitan ekonomi, tetapi sebagian lagi karena alasan harta dunia tak perlu ngotot diurusi. Jika mentalitas kedua pihak ini tak berubah, maka proses pemiskinan akan terus berlanjut bahkan dipercepat.

SISTEM, yang saya maksud adalah tatanan, khususnya dalam ranah impelementasinya, dalam mengendalikan atau menghentikan proses pemiskinan. Terkesan ada pembiaran terhadap proses pemiskinan yang disebabkan larinya asset milik warga miskin. Mestinya negara bisa memperketat proses akuisisi asset warga miskin oleh warga kaya. Mestinya kita mengembangkan pendidikan yang mengajari warga untuk merawat pula harta dunianya (berbarengan dengan upaya menggapai harta sorgawi), karena kesejahteraan hidup tak bisa lepas dari harta dunia itu.

Jika MENTALITAS dan SISTEM tak berubah secara signifikan, saya yakin pengentasan kemiskinan pun tak akan berhasil secara signifikan, meski ada sekian banyak program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan, stimulan ekonomi, dan skema-skema lainnya.

Semoga pandangan saya keliru.

Kamis, 10 September 2009

RENUNGAN - RENUNGAN

Belajar dari semak dan perdu: Tak Pernah jadi tinggi dan besar, tapi terhampar luas, lindungi tanah dari ancaman erosi. Terus dibabat, namun tak pernah terhabisi. Abadi. (Asa, 2001, terilhami Gibran)

Saat aku kalah aku mengumpat dan mengutuki pemenang, tanpa menyadari bahwa saat aku jadi pemenang ada orang lain yang kubuat kalah. (Asa)

Hidup bagaikan mengejar layang-layang putus: Berlari sekuat tenaga, berebut sembari berupaya tak cidera dan tak menciderai. Layang-layang pun mesti ditangkap utuh. (Djoko Witarko)

Kadang aku kecewa, karena aku tak terpilih jadi pemenang, sementara ada orang lain yang lebih buruk dariku tapi terpilih. Tapi, saat aku jadi pemenang sebenarnya juga ada orang lain yang lebih baik dariku tapi tak terpilih. Menang dan kalah seringkali tak adil, tapi acapkali hanya kupedulikan saat aku kalah. (Asa, Februari 2008)

Jadikanlah setiap fajar sebagai awal langkah kehidupan, dan jadikanlah setiap langkah sebagai fajar awal kehidupan. (Asa, 1984)

KETIKA KITA BUKAN SIAPA-SIAPA

Mungkin di suatu waktu anda menganggap sepele orang lain dan berkata: Ah, siapa loe? Ketika orang itu terus merajuk, semakin menjauh pula anda dari dirinya, dan pada akhirnya anda marah besar atau berdiam seribu bahasa tak mau berbincang bahkan bertemu dengannya.

Mungkin di suatu waktu anda akan dianggap sepele orang lain, dan orang lain berkata kepada anda: Ah, siapa loe? Ketika anda anda merajuk, orang lain itu semakin menjauhi anda, dan akhirnya dia marah besar atau membisu dan tak mau menemui anda.

Hidup kadang kita isi untuk menyakiti, kadang pula kita akan tersakiti.

TENTANG WAKTU DAN CARA MATI

Seorang anak kecil yang berdiri tenang di atas trotoir tiba-tiba ditabrak sepeda motor yang dikemudikan seorang pemuda mabok. Anak kecil yang manis itu meninggal di tempat. Hati saya bertanya: Apakah TUHAN memang telah menentukan anak kecil itu meninggal saat itu dan dengan cara ditabrak motor seperti itu?
Pertanyaan terus menggayut dalam batin saya. Ketika sekian banyak orang meninggal karena bom oleh teroris, apakah memang TUHAN merencanakan mereka mati dengan cara seperti itu? Ketika berjuta orang menjadi korban peperangan, apakah memang TUHAN memang menghendaki cara kematian mereka melalui perang.
Saya tak pernah berpikir sedikit pun bahwa TUHAN itu kejam, maka saya tak percaya bahwa cara kematian yang menyakitkan seperti contoh-contoh di atas adalah rancangan TUHAN. Bahkan cara kematian yang disebabkan penyakit, mal praktek, narkoba dan sebagainya juga bukanlah rencana TUHAN.

Yang teramat saya pegang teguh sebagai keyakinan adalah: Bahwa TUHAN lah yang mencabut nyawa manusia sehingga manusia mati. Kematian manusia terjadi pada saat TUHAN mencabut nyawa milikNYA yang dititipkan di raga manusia yang baru saja mati. Tetapi cara atau proses setiap orang menuju mati menurut saya bukanlah rancanganNYA. Cara atau proses itu adalah semata karena tindakan manusia, mungkin diri orang itu sendiri atau karena perbuatan dan kelalaian orang lain. Anak kecil yang badannya hancur karena tertabrak motor adalah semata-mata karena perbuatan pemuda pemabok itu. Sekian banyak orang yang diluluhlantkkan oleh bom yang dipasang oleh teroris adalah semata-mata karena perbuatan biadab teroris itu.
Lalu, dalam kondisi tubuh anak kecil yang tertabrak motor itu sudah hancur dan tak mungkin lagi ditempati nyawa milik TUHAN, maka TUHAN mencabut nyawa milikNYA itu dari raga anak kecil itu, pergilah sang anak kembali ke pangkuanNYA. Ketika TUHAN melihat manusia raganya telah hancur oleh bom, oleh hujaman peluru, oleh penyakit, oleh mal praketk, oleh narkoba dan oleh sebab lainnya, sehingga tak lagi layak dititipi nyawa milikNYA, maka TUHAN mencabut nyawa itu dari raga orang itu, sehingga orang itu meninggal. Kematian, dalam arti tercabutnya nyawa memang dan pasti karena kehendak TUHAN. Tetapi, cara atau proses menuju kematian, dalam keyakinan saya, adalah karena manusia, mungkin dirinya sendiri atau orang lain. Karenanya: Manusia mesti berhati-hati menjaga dan merawat raga yang dititipi nyawa olehNYA. Manusia mesti terbuka hatinya untuk tidak berbuat untuk menghancurkan raga orang lain, melalui bom, narkoba, tindakan ugal-ugalan, dsb. Mari kita jaga dan saling jaga, mari kita rawat dan saling rawat, sehingga TUHAN tetap menitipkan nyawa milikNYA ke raga-raga kita. Biarlah setiap manusia berkesempatan hidup panjang, hingga akhirnya mati di masa tua karena memang tak mampu menjaga dan merawat raganya, sampai saatnya TUHAN mengambil nyawa milikNYA dari raga-raga tua manusia.

TENTANG KESETARAAN JENDER DAN MENGHORMATI HAK ANAK

Gema keseteraan jender dan penghormatan hak anak terus bergaung dan tambah bergaung. Ini adalah fenomena yang tak bisa dihindarkan, karena dengan pengetahuan dan kesadaran manusia yang terus berkembang pastilah sampai pada saatnya tumbuh pemikiran-pemikiran baru tentang hak yang semestinya dimiliki setiap individu dan ditegakkan keberadaannya.
Isteri, bagi saya selaku suami, semestinya memang ditempatkan setara seperti halnya dikehendaki TUHAN. Isteri diambil dari tulang rusuk laki-laki yang berada di bagian tengah tubuh, bukan kaki di bawah dan bukan kepala di atas.
Secara rasional dan alami, dalam tugas melanjutkan keturunan umat manusia, laki-laki dan perempuan berada dalam posisi saling membutuhkan. Kelahiran anak-anak sebagai generasi penerus hanya dimungkinkan oleh kerjasama laki-laki dan perempuan. Laki-laki tak bisa melakukannya sendiri.
Kesetaraan yang diperjuangkan para perempuan juga tak pernah punya niat untuk menjungkirbalikkan keadaan di mana perempuan menjadi penindas laki-laki, pada banyak fakta yang berabad-abad terjadi perempuan dieksploitasi dan ditindas lelaki. Tak ada dendam para perempuan, mereka hanya memperjuangkan kesetaraan atau kesejajaran.
Anak-anak, adalah titipan Sang Khalik kepada para orangtua. Khahlil Gibran menegaskan anak-anak adalah milik SANG KEHIDUPAN. Orang tua ditugaskan menjadi busur untuk membantu anak-anak sebagai anak panah meluncur menuju sasaran. Orang tua bukanlah sang pembidik yang menentukan ke mana anak panah harus meluncur.
Memang, tak mudah menghayati dan mengamalkan prinsip kesetaraan jender dan penghormatan pada hak anak di dalam keluarga. Saya punya pengalaman yang teramat sulit yang saya alami sekitar 8 tahun terakhir. Tahun 2001 isteri saya memutuskan melanjutkan studi S-2 di Salatiga sebagai salah satu haknya sebagai makhluk pembelajar, dan anak-anakpun juga ikut pindah ke Salatiga, sementara saya bekerja di Jakarta. Keterpisahan tempat tinggal sungguh menjadi beban teramat berat bagi saya. Kesempatan untuk berbagi suka-duka kehidupan menjadi sangat terbatas. Ketika isteri sudah selesai studi pun, permasalahan tak kunjung selesai, karena Avi (anak perempuan saya) menegaskan dia ingin tetap di Salatiga. Ini adalah bagian dari hak anak yang mesti dihormati.
Jadi, menghormati prinsip kesetaraan jender dan menghormati hak anak bukanlah hal yang mudah, bahkan kadang terasa sangat berat. Tapi, cobalah kita berhenti dan mundur ke belakang sejenak, lalu bertanya: Bagaiamana derita para perempuan dan anak-anak masa lalu yang tak memperoleh hak-haknya? Bagaimana dulu para ibu bangun paling pagi dan tidur paling malam untuk menyelesaikan sekian banyak pekerjaan rumah tangga? Bagaimana dulu anak-anak tak boleh berpendapat tentang apa pun, semua diatur orangtua? Bagaimana para anak perempuan tak disekolahkan, hanya anak laki-laki yang diberi kesempatan? Saya sering merenungkan hal ini, tentu tidak disertai kemarahan pada orang tua, karena saya sadar orang tua saya saat itu tak memiliki pemahaman yang cukup tentang hal ini.
Telah banyak derita perempuan dan anak-anak di masa lalu (bahkan masih juga terjadi hingga kini), dalam banyak hal, dalam hitungan waktu yang sekian lama. Maka, jika kini merasakan derita karena penghargaan terhadap kesetaraan jender dan hak-hak anak, kita bisa bandingkan dengan derita sekian banyak dan sekian lama yang dialami perempuan dan anak-anak. Masih terlampau kecil derita laki-laki karena kesadaran baru ini. Jadi, perjuangan kesetaraan jender dan penghormatan hak anak harus terus dilanjutkan.

BELAJAR DARI GURU TK

Ketika berbincang tentang mendampingi masyarakat marginal, seringkali terungkap keluhan sulitnya melakukan pendampingan untuk pemberdayaan mereka. Keluhan biasanya berlatar belakang temuan, bahwa mereka memiliki keterbatasan pemahaman dan pendidikan.
Keluhan ini tak salah, seperti halnya kesadaran dan pengalaman bahwa mendampingi masyarakat memang bukan pekerjaan yang mudah, upaya pemberdayaan untuk mereka adalah pekerjaan sulit yang membutuhkan energi - waktu dan biaya.
Tetapi, semua kesulitan yang ada mestinya tak bisa dijadikan alasan untuk menyerah, karena memang di situlah panggilan tugas berada. Dan, memang karena adanya keterbatasan masyarakat marginal itulah, maka panggilan tugas itu bergema. Sepertinya, kita harus terus belajar pada para Guru Taman Kanak-kanak, yang tak pernah mengeluh dan menolak bekerja dengan alasan murid-muridnya sangat terbatas kemampuannya. Para guru TK justru hadir melayani anak-anak dengan kesadaran penuh bahwa murid-muridnya adalah sekumpulan individu yang masih terbatas pengetahuan - ketrampilan dan sikapnya yang perlu dibantu untuk berkembang.
Mari, bekerja untuk masyarakat dengan berbekal semangat para guru TK.