Rabu, 16 September 2009

Sajak Pendek: Ketika Kekasih Pergi



Di belantara sepi, nyanyi jadi penyejuk hati.
Di belantara tangis, kurindu kau tersenyum manis.
Di belantara gelisah, kuharap bisa berbagi resah.
Di belantara kembara, sapa adalah telaga bagi dahaga jiwa.

Apakah aku bisa istirah?
Resah bertumpuk, tangis jadi irama keseharian, sepi selalu menghiasi malam.
Apakah kau akan datang menyapa?
Di beranda ini kau kutunggu.
Di beranda ini kau kunanti.
Di beranda ini aku termangu.

Di beranda hati, kau tak pernah pergi.


Keterangan foto:
Lampu hias karya seniman Ubud, Bali.

Selasa, 15 September 2009

NEGERI JIRAN, BELAJARLAH KE LOMBOK

Di Lombok - Nusa Tenggara Barat, ada iklan pariwisata seperti ini: Di Bali anda bisa melihat Bali, di Lombok anda bisa melihat Lombok dan Bali. Ya, memang demikian. Di Lombok kita bisa mengunjungi dan melihat keindahan alam yang menakjubkan (Pantai Senggigi, Pantai Kuta - Lombok, Tanjung An, Gunung Rinjani dan Danau Segara Anak, Gili Trawangan, dll.), keindahan budaya masyakarakat Sasak, warga asli pulau Lombok (tenun ikat, kerajian ukiran, seni tari perang prisean, seni musik gendang beleq, bau nyale, dll.); bersamaan itu pula kita bisa melihat keindahan budaya Bali yang "ditampilkan" warga keturunan Bali yang kebanyakan tinggal di belahan barat pulau Lombok.  Jadi, di Lombok kita juga bisa melihat sepinya Nyepi, upacara ngaben, dan bentuk-bentuk budaya Bali lainnya.
Sungguh suatu kecerdikan sekaligus kearifan yang luar biasa dalam iklan tersebut. Cerdik karena memanfaatkan secara bertanggungjawab potensi Bali untuk menyedot wisatawan datang ke Lombok. Arif karena masyarakat dan pemerintah di Lombok tidak melakukan claim atas budaya yang berasal dari suku lain.
Mengapa negeri jiran tidak belajar cerdik dan arif seperti itu? Misalnya membuat iklan pariwisata seperti ini: Di Indonesia anda bisa melihat Indonesia, di negeri kami anda bisa melihat negeri kami dan Indonesia sekaligus. Jika iklan pariwisatanya seperti ini mestinya tak akan ada keberatan bangsa kita, bahkan mungkin ikut berbangga, karena negeri kita dihargai keberadaannya dan nilai lebihnya. Jadi, bagaimana saudara-saudara di negeri jiran, apakah kita bisa hidup bersama dengan lebih cerdik dan arif?

Keterangan:
Foto/image diunduh dari internet, dengan segala permohonan ijin kepada pemiliknya.

Sabtu, 12 September 2009

MENGAPA KEMISKINAN TETAP ADA?

Beberapa waktu belakangan ini, saya sering ketemu dengan teman-teman dan memperbincangkan satu topik: Kita (bangsa Indonesia) sudah sekian lama bergelut menangani kemiskinan, tetapi kelihatannya tak banyak perubahan siginifikan yang dihasilkan. Beberapa kalangan bahkan menyebut kemiskinan semakin bertambah. 

Tulisan ini tak ingin masuk ke dalam polemik bertambah atau tidak jumlah orang miskin, karena saya tak punya data akurat untuk ikut berdebat.

Tulisan ini hanya ingin menyampaikan pendapat tentang beberapa hal yang berkontribusi atas 'lestarinya' kemiskinan di negeri kita.

Dalam pandangan saya, minimal ada 2 (dua) hal yang berkontribusi terhadap langgengnya permasalahan kemiskinan, yakni: MENTALITAS dan SISTEM.

MENTALITAS yang saya maksud adalah mentalitas warga negeri ini yang terkait langsung dengan pemiskinan. Mentalitas yang memiskinkan ini ada pada warga yang tidak miskin, tetapi juga warga miskin itu sendiri. Di kalangan warga tak miskin berkembang mentalitas untuk terus memperkaya diri dan menguasai asset sebanyak mungkin, termasuk mencaplok atau mengambil alih asset-asset warga miskin. Sangat jelas tersaji di depan kita, bagaimana kebun-kebun, sawah-sawah dan tempat tinggal warga menengah dan miskin beralih kepemilikan ke orang-orang kaya. Warga-warga menengah dan miskin pun banyak yang kemudian hanya menjadi buruh atau pengontrak di lahan yang semula adalah miliknya. Proses ini terus berlanjut, karena warga yang kaya tak kunjung sadar diri dan berhenti melalukan akuisisi, melainkan terus bergerak atas nama ekspansi usahanya, sementara warga miskin merelakan asset-assetnya pergi begitu saja, sebagian dengan alasan kesulitan ekonomi, tetapi sebagian lagi karena alasan harta dunia tak perlu ngotot diurusi. Jika mentalitas kedua pihak ini tak berubah, maka proses pemiskinan akan terus berlanjut bahkan dipercepat.

SISTEM, yang saya maksud adalah tatanan, khususnya dalam ranah impelementasinya, dalam mengendalikan atau menghentikan proses pemiskinan. Terkesan ada pembiaran terhadap proses pemiskinan yang disebabkan larinya asset milik warga miskin. Mestinya negara bisa memperketat proses akuisisi asset warga miskin oleh warga kaya. Mestinya kita mengembangkan pendidikan yang mengajari warga untuk merawat pula harta dunianya (berbarengan dengan upaya menggapai harta sorgawi), karena kesejahteraan hidup tak bisa lepas dari harta dunia itu.

Jika MENTALITAS dan SISTEM tak berubah secara signifikan, saya yakin pengentasan kemiskinan pun tak akan berhasil secara signifikan, meski ada sekian banyak program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan, stimulan ekonomi, dan skema-skema lainnya.

Semoga pandangan saya keliru.

Kamis, 10 September 2009

RENUNGAN - RENUNGAN

Belajar dari semak dan perdu: Tak Pernah jadi tinggi dan besar, tapi terhampar luas, lindungi tanah dari ancaman erosi. Terus dibabat, namun tak pernah terhabisi. Abadi. (Asa, 2001, terilhami Gibran)

Saat aku kalah aku mengumpat dan mengutuki pemenang, tanpa menyadari bahwa saat aku jadi pemenang ada orang lain yang kubuat kalah. (Asa)

Hidup bagaikan mengejar layang-layang putus: Berlari sekuat tenaga, berebut sembari berupaya tak cidera dan tak menciderai. Layang-layang pun mesti ditangkap utuh. (Djoko Witarko)

Kadang aku kecewa, karena aku tak terpilih jadi pemenang, sementara ada orang lain yang lebih buruk dariku tapi terpilih. Tapi, saat aku jadi pemenang sebenarnya juga ada orang lain yang lebih baik dariku tapi tak terpilih. Menang dan kalah seringkali tak adil, tapi acapkali hanya kupedulikan saat aku kalah. (Asa, Februari 2008)

Jadikanlah setiap fajar sebagai awal langkah kehidupan, dan jadikanlah setiap langkah sebagai fajar awal kehidupan. (Asa, 1984)

KETIKA KITA BUKAN SIAPA-SIAPA

Mungkin di suatu waktu anda menganggap sepele orang lain dan berkata: Ah, siapa loe? Ketika orang itu terus merajuk, semakin menjauh pula anda dari dirinya, dan pada akhirnya anda marah besar atau berdiam seribu bahasa tak mau berbincang bahkan bertemu dengannya.

Mungkin di suatu waktu anda akan dianggap sepele orang lain, dan orang lain berkata kepada anda: Ah, siapa loe? Ketika anda anda merajuk, orang lain itu semakin menjauhi anda, dan akhirnya dia marah besar atau membisu dan tak mau menemui anda.

Hidup kadang kita isi untuk menyakiti, kadang pula kita akan tersakiti.

TENTANG WAKTU DAN CARA MATI

Seorang anak kecil yang berdiri tenang di atas trotoir tiba-tiba ditabrak sepeda motor yang dikemudikan seorang pemuda mabok. Anak kecil yang manis itu meninggal di tempat. Hati saya bertanya: Apakah TUHAN memang telah menentukan anak kecil itu meninggal saat itu dan dengan cara ditabrak motor seperti itu?
Pertanyaan terus menggayut dalam batin saya. Ketika sekian banyak orang meninggal karena bom oleh teroris, apakah memang TUHAN merencanakan mereka mati dengan cara seperti itu? Ketika berjuta orang menjadi korban peperangan, apakah memang TUHAN memang menghendaki cara kematian mereka melalui perang.
Saya tak pernah berpikir sedikit pun bahwa TUHAN itu kejam, maka saya tak percaya bahwa cara kematian yang menyakitkan seperti contoh-contoh di atas adalah rancangan TUHAN. Bahkan cara kematian yang disebabkan penyakit, mal praktek, narkoba dan sebagainya juga bukanlah rencana TUHAN.

Yang teramat saya pegang teguh sebagai keyakinan adalah: Bahwa TUHAN lah yang mencabut nyawa manusia sehingga manusia mati. Kematian manusia terjadi pada saat TUHAN mencabut nyawa milikNYA yang dititipkan di raga manusia yang baru saja mati. Tetapi cara atau proses setiap orang menuju mati menurut saya bukanlah rancanganNYA. Cara atau proses itu adalah semata karena tindakan manusia, mungkin diri orang itu sendiri atau karena perbuatan dan kelalaian orang lain. Anak kecil yang badannya hancur karena tertabrak motor adalah semata-mata karena perbuatan pemuda pemabok itu. Sekian banyak orang yang diluluhlantkkan oleh bom yang dipasang oleh teroris adalah semata-mata karena perbuatan biadab teroris itu.
Lalu, dalam kondisi tubuh anak kecil yang tertabrak motor itu sudah hancur dan tak mungkin lagi ditempati nyawa milik TUHAN, maka TUHAN mencabut nyawa milikNYA itu dari raga anak kecil itu, pergilah sang anak kembali ke pangkuanNYA. Ketika TUHAN melihat manusia raganya telah hancur oleh bom, oleh hujaman peluru, oleh penyakit, oleh mal praketk, oleh narkoba dan oleh sebab lainnya, sehingga tak lagi layak dititipi nyawa milikNYA, maka TUHAN mencabut nyawa itu dari raga orang itu, sehingga orang itu meninggal. Kematian, dalam arti tercabutnya nyawa memang dan pasti karena kehendak TUHAN. Tetapi, cara atau proses menuju kematian, dalam keyakinan saya, adalah karena manusia, mungkin dirinya sendiri atau orang lain. Karenanya: Manusia mesti berhati-hati menjaga dan merawat raga yang dititipi nyawa olehNYA. Manusia mesti terbuka hatinya untuk tidak berbuat untuk menghancurkan raga orang lain, melalui bom, narkoba, tindakan ugal-ugalan, dsb. Mari kita jaga dan saling jaga, mari kita rawat dan saling rawat, sehingga TUHAN tetap menitipkan nyawa milikNYA ke raga-raga kita. Biarlah setiap manusia berkesempatan hidup panjang, hingga akhirnya mati di masa tua karena memang tak mampu menjaga dan merawat raganya, sampai saatnya TUHAN mengambil nyawa milikNYA dari raga-raga tua manusia.

TENTANG KESETARAAN JENDER DAN MENGHORMATI HAK ANAK

Gema keseteraan jender dan penghormatan hak anak terus bergaung dan tambah bergaung. Ini adalah fenomena yang tak bisa dihindarkan, karena dengan pengetahuan dan kesadaran manusia yang terus berkembang pastilah sampai pada saatnya tumbuh pemikiran-pemikiran baru tentang hak yang semestinya dimiliki setiap individu dan ditegakkan keberadaannya.
Isteri, bagi saya selaku suami, semestinya memang ditempatkan setara seperti halnya dikehendaki TUHAN. Isteri diambil dari tulang rusuk laki-laki yang berada di bagian tengah tubuh, bukan kaki di bawah dan bukan kepala di atas.
Secara rasional dan alami, dalam tugas melanjutkan keturunan umat manusia, laki-laki dan perempuan berada dalam posisi saling membutuhkan. Kelahiran anak-anak sebagai generasi penerus hanya dimungkinkan oleh kerjasama laki-laki dan perempuan. Laki-laki tak bisa melakukannya sendiri.
Kesetaraan yang diperjuangkan para perempuan juga tak pernah punya niat untuk menjungkirbalikkan keadaan di mana perempuan menjadi penindas laki-laki, pada banyak fakta yang berabad-abad terjadi perempuan dieksploitasi dan ditindas lelaki. Tak ada dendam para perempuan, mereka hanya memperjuangkan kesetaraan atau kesejajaran.
Anak-anak, adalah titipan Sang Khalik kepada para orangtua. Khahlil Gibran menegaskan anak-anak adalah milik SANG KEHIDUPAN. Orang tua ditugaskan menjadi busur untuk membantu anak-anak sebagai anak panah meluncur menuju sasaran. Orang tua bukanlah sang pembidik yang menentukan ke mana anak panah harus meluncur.
Memang, tak mudah menghayati dan mengamalkan prinsip kesetaraan jender dan penghormatan pada hak anak di dalam keluarga. Saya punya pengalaman yang teramat sulit yang saya alami sekitar 8 tahun terakhir. Tahun 2001 isteri saya memutuskan melanjutkan studi S-2 di Salatiga sebagai salah satu haknya sebagai makhluk pembelajar, dan anak-anakpun juga ikut pindah ke Salatiga, sementara saya bekerja di Jakarta. Keterpisahan tempat tinggal sungguh menjadi beban teramat berat bagi saya. Kesempatan untuk berbagi suka-duka kehidupan menjadi sangat terbatas. Ketika isteri sudah selesai studi pun, permasalahan tak kunjung selesai, karena Avi (anak perempuan saya) menegaskan dia ingin tetap di Salatiga. Ini adalah bagian dari hak anak yang mesti dihormati.
Jadi, menghormati prinsip kesetaraan jender dan menghormati hak anak bukanlah hal yang mudah, bahkan kadang terasa sangat berat. Tapi, cobalah kita berhenti dan mundur ke belakang sejenak, lalu bertanya: Bagaiamana derita para perempuan dan anak-anak masa lalu yang tak memperoleh hak-haknya? Bagaimana dulu para ibu bangun paling pagi dan tidur paling malam untuk menyelesaikan sekian banyak pekerjaan rumah tangga? Bagaimana dulu anak-anak tak boleh berpendapat tentang apa pun, semua diatur orangtua? Bagaimana para anak perempuan tak disekolahkan, hanya anak laki-laki yang diberi kesempatan? Saya sering merenungkan hal ini, tentu tidak disertai kemarahan pada orang tua, karena saya sadar orang tua saya saat itu tak memiliki pemahaman yang cukup tentang hal ini.
Telah banyak derita perempuan dan anak-anak di masa lalu (bahkan masih juga terjadi hingga kini), dalam banyak hal, dalam hitungan waktu yang sekian lama. Maka, jika kini merasakan derita karena penghargaan terhadap kesetaraan jender dan hak-hak anak, kita bisa bandingkan dengan derita sekian banyak dan sekian lama yang dialami perempuan dan anak-anak. Masih terlampau kecil derita laki-laki karena kesadaran baru ini. Jadi, perjuangan kesetaraan jender dan penghormatan hak anak harus terus dilanjutkan.

BELAJAR DARI GURU TK

Ketika berbincang tentang mendampingi masyarakat marginal, seringkali terungkap keluhan sulitnya melakukan pendampingan untuk pemberdayaan mereka. Keluhan biasanya berlatar belakang temuan, bahwa mereka memiliki keterbatasan pemahaman dan pendidikan.
Keluhan ini tak salah, seperti halnya kesadaran dan pengalaman bahwa mendampingi masyarakat memang bukan pekerjaan yang mudah, upaya pemberdayaan untuk mereka adalah pekerjaan sulit yang membutuhkan energi - waktu dan biaya.
Tetapi, semua kesulitan yang ada mestinya tak bisa dijadikan alasan untuk menyerah, karena memang di situlah panggilan tugas berada. Dan, memang karena adanya keterbatasan masyarakat marginal itulah, maka panggilan tugas itu bergema. Sepertinya, kita harus terus belajar pada para Guru Taman Kanak-kanak, yang tak pernah mengeluh dan menolak bekerja dengan alasan murid-muridnya sangat terbatas kemampuannya. Para guru TK justru hadir melayani anak-anak dengan kesadaran penuh bahwa murid-muridnya adalah sekumpulan individu yang masih terbatas pengetahuan - ketrampilan dan sikapnya yang perlu dibantu untuk berkembang.
Mari, bekerja untuk masyarakat dengan berbekal semangat para guru TK.