Kamis, 01 Juli 2010

MENGUNDANG ATAU MENGUNJUNGI?

MENGUNDANG ATAU MENGUNJUNGI,
MANA PILIHAN ANDA?

Terhadap saudara yang berbeda tempat tinggal atau teman yang jauh rumahnya, bila sesekali anda bertemu dengannya, manakah yang sering anda sampaikan kepadanya: Mengudangnya untuk datang ke rumah anda? Atau, mengatakan rencana anda untuk mengunjungi rumahnya?

Dari segi maknanya, bisa dikatakan sama-sama besar maknanya. Mengundang saudara atau teman datang ke rumah berarti anda menunjukkan kemauan untuk menjamunya di rumah anda. Mengunjungi saudara atau teman di rumahnya berari anda menunjukkan kepedulian untuk mengenali rumah, keluarga dan kehidupannya.

Tapi, ada sisi lain yang sebetulnya perlu kita cermati, sehingga pada akhirnya kita bisa melihat dimensi yang membedakan secara signifikan makna mengundang dan mengunjungi.

Mengundang berarti “memaksa” saudara atau teman “bergerak menuju diri anda”. Mungkin, bagi saudara atau teman anda yang kebetulan punya banyak waktu dan fasilitas “paksaan” untuk “bergerak menuju diri anda” itu tak menjadi persoalan. Bahkan, mungkin ada saudara atau teman anda yang justru sangat suka “bergerak”, sehingga sangat senang ketika anda “memaksanya bergerak”. Namun, mungkin pula bagi saudara atau teman anda yang minim waktu dan fasilitas, “bergerak menuju diri anda” akan menyita: waktu, fasilitas dan biaya serta bisa pula emosinya (bayangkan kalau untuk menuju ke anda dia harus melewati kemacetan/jauh/panas, dsb.).

Sebaliknya, mengunjungi berarti “memaksa” diri untuk “bergerak menuju saudara atau teman anda”. Mungkin, langkah ini gampang anda lakukan karena punya banyak waktu dan fasilitas. Dan mungkin juga sangat menyenangkan anda, karena anda memang suka “bergerak”. Namun, mungkin pula anda akan mengalami kesulitan besar karena: waktu terbatas, tak punya fasilitas dan biaya untuk mengunjungi dan mesti melewati situasi yang mengundang emosi itu, misalnya: kemacetan dan cuaca yang panas.
Sampai di sini, kelihatannya tetap sama maknanya. Namun, bila kita menggunakan pengukur atau penimbang berikut ini, mungkin jawaban kita akan berbeda: MANAKAH YANG LEBIH MULIA, MENJAMU SAUDARA/TEMAN DI RUMAH DENGAN MEMBEBANINYA UNTUK TIBA DI RUMAH ANDA atau MEMBEBANI DIRI UNTUK MEMBAHAGIAKAN SAUDARA/ TEMAN KARENA KEPEDULIAN ANDA PADANYA?

Pilihan pertama mungkin akan menghasilkan kunjungan saudara/teman anda ke rumah anda sekali atau beberapa kali ... tapi (mungkin) sebenarnya anda telah “menyiksanya” atau paling tidak “sedikit membebaninya”.

Pilihan kedua, bergantung anda, bisa menghasilkan kunjungan anda ke saudara/teman anda sekali atau beberapa kali ... dengan sedikit kemungkinan nuansa “siksa” dan “beban” karena sebagai pihak yang “bergerak” telah mengikhlaskan dan mengikhtiarkan diri untuk “bergerak”. Akan menjadi lebih lengkap bila kunjungan anda telah mendapat persetujuan awal dari saudara/teman anda sebelum anda menemuinya, bahkan mungkin telah sepakat untuk dijamu apa adanya bahkan tidak dijamu sesuai kemampuan saudara/teman anda.

Jadi, ke depan nampaknya akan lebih indah bila kita masing-masing mencanangkan dalam diri kita: “Aku akan mengunjungi saudara/teman lebih banyak daripada mengundang saudara/teman.” Mungkin!

Jumat, 23 April 2010

MASIHKAH ADA HARAPAN?

Masihkah ada harapan cerah di negeri ini? Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun sepanjang hidupku, aku merenungkan itu?
Dan, ... sebagian besar berakhir dengan: pesimisme dan ketidakyakinan.

Cobalah kita lihat, setiap masa melahirkan para aktifis idealis yang dengan lantang dan meyakinkan melawan ketidakadilan, ketidakbenaran, ketimpangan dan banyak hal yang harus dibenahi di negeri ini. Tapi, masa demi masa berlalu, teriakan lantang dan meyakinkan itu berlalu, bahkan sebagian yang berteriak lantang dan meyakinkan itu juga tenggelam dalam ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketimpangan.
Maka, ketika suatu masa bergema semangat PANGKAS SATU GENERASI, aku langsung berkeyakinan itu bukan solusi. Karena pergantian generasi telah memberi bukti nyaris tak ada perubahan berarti atau bahkan lebih ngeri.

Korupsi semakin nggegirisi (bahasa Jawa, artinya: menakutkan, mengerikan) menggerogoti negeri.
Bukan hanya besarnya uang yang dikorupsi, tetapi juga jumlah orang yang melakukan korupsi semakin bertambah dan bertambah. Saya juga ketularan, minimal korupsi waktu kerja, seperti saat menulis catatan ini.

Sekarang ini, di mana bisa kita temui lembaga yang benar-benar bebas korupsi. Di dunia konglomerasi, birokrasi, sampai ke organisasi-organisasi, kampus, sekolah bahkan di dalam keluarga sekalipun.

Bukan hanya korupsi, tetapi juga kriminalitas yang lain, pelanggaran HAM, KDRT dan banyak lagi.
Duh Gusti, jaman apakah ini? Jaman edan? Bukan! Karena semua melakukannya dengan penuh kesadaran, bukan karena gila.

Menegur dan mengingatkan juga nyaris tak lagi berguna. Sebagian karena tak didengar, sebagian didengar tapi tak dilakukan, sebagian dijawab: Ah, semua melakukannya kok, mosok saya harus bersih sendirian.

Lembaga-lembaga keagamaan juga nyaris tak mampu berkontribusi. Orang-orang berbondong-bondong dan rajin sembahyang, ibadah dan manggut-manggut mendengarkan kotbah bahkan kadang berlinangan air mata, tetapi sesaat kemudian lupa atau menutup mata melihat atau bahkan melakukan kejahatan.

Jadi, apakah kita hanya bisa terdiam, menunggu, dalam ketidakpastian dan pesimisme, sembari mengingat petuah Jawa kuno: Hamenangi jaman edan, yen ora edan ora keduman, nanging sak beja-bejane sing lali isih luwih beja sing eling lan waspada. Lalu terdengarlah para warga yang miskin dan tertinggal bersenandung tembang begini: Cilik mula cilaka wak mami, manggung dadi lakon, nista papa wus nglakoni kabeh, amung loro kang durung nglakoni: mukti klawan mati, pundi marginipun? 
[Sedari kecil sengsara hidupku, selalu jadi pelaku (penderita), hidup penuh nista dan papa sudah dirasakan semua, cuma dua yang belum dirasakan: hidup berada dan mati, di manakah jalannya?]
Jalan untuk hidup lebih baik sulit ditemui, bahkan jalan untuk mati pun tak mudah didapatkan, tentunya mati dengan harkat kemanusiaan yang selayaknya.

Duh Gusti!

Kamis, 22 April 2010

MATI KARENA "BENCANA ALAM"

Ada teman yang bertanya kepada saya, bagaimana kaitan antara tulisan saya tentang kematian dengan peristiwa kematian karena "bencana alam"?

Sebelum masuk ke content tulisan ini saya kepingin mengajukan pendapat saya, bahwa istilah "bencana alam" menurut saya kurang tepat. Yang lebih tepat adalah peristiwa alam, karena ia adalah proses alam dalam mencari keseimbangannya. Kalau toh menjadi bencana adalah karena ada manusia yang menjadi korban atas peristiwa alam itu. Namun demikian, peristiwa alam itu sendiri bersifat netral sebagai suatu peristiwa alam, di mana alam mencari keseimbangannya.

Apakah mereka yang meninggal memang sudah sejak awal dijatahkan oleh TUHAN untuk mati dengan cara terlanda peristiwa alam? Menurut saya tidaklah demikian. Menurut saya, manusia yang meninggal karena persistiwa alam semata-mata karena dia/mereka dan manusia lainnya belum mampu menghadapi efek dari peristiwa alam yang terjadi yang mengakibatkan tubuhnya hancur atau tergencet atau tertimbun, sehingga TUHAN melihat nyawa yang dititipkannya pada raga orang itu tak layak lagi untuk dititipkan, maka dicabutnya nyawa itu dari raga itu.

Semoga ke depan manusia semakin mampu menyesuaikan dengan peristiwa alam, sehingga tidak jatuh banyak korban. Namun, bagaimana pun juga TUHAN punya hak prerogatif yang tak bisa dilawan manusia, seperti halnya peristiwa pembangunan menara Babel, di mana manusia dengan keangkuhan teknologinya hendak melawan TUHAN, maka TUHAN murka dan dihancurkanlah menara itu.

Rabu, 21 April 2010

SALING MENUNGGU UNTUK BERUBAH

Sangat sering kita jumpai kebiasaan-kebiasaan buruk di kehidupan kita, seperti: buang sampah sembarangan, terlambat hadir ketika mengikuti suatu kegiatan, merokok di tempat umum, dan lain-lain.

Kebiasaan-kebiasaan buruk itu masih dilengkapi dengan tambahan jawaban yang lebih buruk lagi bila diingatkan untuk menghentikannya, yakni jawaban: Ah, yang lain juga begitu. Nanti kalau yang lain sudah berhenti, baru saya juga berhenti. Nah, sialnya kebanyakan atau bahan semua orang menggunakan alasan yang sama, sehingga akibatnya semua orang secara tak langsung saling menunggu, dan akibat akhirnya perubahan menuju kondisi yang lebih baik nyaris tak terjadi.

Mestinya setiap individu punya komitmen begini: Okay, saya akan mulai memperbaiki diri, mulai dari saya. Nah, jika semua individu atau sebagian besar atau minimal sebagian kecil berkomitmen seperti ini, tentunya akan ada gerakan (minimal kecil) menuju proses perubahan ke arah yang lebih baik.

Maka, marilah mulai menata kehidupan yang lebih baik MULAI DARI DIRI KITA. Semoga.

Selasa, 20 April 2010

SANG MOTIVATOR

Para pelaku pemberdayaan masyarakat sering bertanya-tanya: Sudah lama program pemberdayaan masyarakat digulirkan, tapi kok masih banyak masyarakat tak berdaya?

Banyak teman yang sering berbagi rasa: Mengapa saat kita mengikuti sajian seorang motivator kita terperangah ataupun manggut-manggut merasa menemukan pencerahan baru, tapi toh kita tak banyak menemukan perubahan yang lebih baik secara signifikan dalam hidup kita?

Ada jawaban guyon yang ingin saya bagikan kepada anda. Pemberdayaan masyarakat tak kunjung memampukan masyarakat menjadi mandiri, karena yang digunakan adalah WAHANA PEMBERDAYAAN. Namanya WAHANA atau KENDARAAN atau WADAH ya hanya MEMBAWA saja, belum tentu sampai kan?
Para motivator juga biasa menggunakan kata LANGKAH, CARA atau WAYS. Istilah LANGKAH atau CARA atau WAYS ya hanya TAHAPAN MENUJU saja, belum pasti akan sampai kan?

Lalu, jawaban yang serius apa? Jujur saja, saya tak tahu jawabannya. Jika saya mengatakan bahwa belum tercapainya tujuan karena masyarakat kurang optimal memanfaatkan wahana atau langkah atau cara atau ways, sepertinya saya sedang menyalahkan masyarakat dan membela para fasilitator pemberdayaan dan para motivator.

Mungkin, solusi paling tepat adalah berefleksi bersama dengan para fasilitator dan motivator tentang apa yang keliru dalam upaya-upaya yang telah dilakukan? Atau melakukan kajian bersama masyarakat untuk menemukan jawaban yang sebenarnya.

KESETIAAN DALAM KOALISI DAN INSTITUSI

Saat-saat pembahasan keputusan Pansus Bank Century di DPR, salah satu hal yang mencuat adalah sejauh mana kesetiaan anggota koalisi. Kesetiaan itu diukur dari apakah anggota koalisi memilih opsi yang sama dengan pemimpin koalisi.

Ya, di dalam dunia politik seringkali dimengerti bahwa kesetiaan terukur dari komitmen untuk tidak berseberangan dengan sang pemimpin ataupun wadah koalisi.

Tapi, tak hanya di dunia politik, di dunia usaha pun seringkali kesetiaan pada diukur dari sejauh mana seseorang terus membela dan tak mencela lembaga atau perusahaan tempatnya bekerja.

Apakah semestinya demikian?

Beberapa politisi menggunakan analogi pernikahan. Lalu, disebutnya bahwa anggota koalisi yang tak setia dengan pilihan pemimpin koalisi adalah bagaikan seorang istri yang berselingkuh mengkhianati suaminya.

Saya sama sekali tak setuju dengan analogi ini. Karena, benarkah seorang istri tak boleh berbeda pendapat dengan suaminya? Betapa kelirunya kalau pendapat tersebut dibenarkan. Coba simak contoh ini: Seorang istri yang tak suka suaminya merokok dan meminta suaminya berhenti merokok, apakah itu tandanya istri tak setia pada suami? Bukankah ini justru contoh istri yang sangat peduli pada suami? Contoh lain bisa banyak dicari dan ditemui.

Jadi, jika tetap menggunakan analogi suami - istri, maka sebetulnya dalam tatanan koalisi maupun hubungan kerja dalam institusi, anggota koalisi (dalam koalisi) dan pekerja (dalam institusi) yang sering atau suka atau sesekali memberikan kritik dan berbeda pendapat dengan pemimpin koalisi atau institusi tidaklah bisa divonis sebagai tidak setia dan berselingkuh. Pribadi-pribadi seperti ini bisa jadi justru sumber masukan bagi perbaikan bagi koalisi dan institusi. Mereka jauh lebih baik dibandingkan yang terus membisu, sementara hatinya mendongkol. Mereka jauh lebih baik dibandingkan mereka yang bila kecewa langsung kabur melarikan diri.

Wahai para pemimpin (koalisi dan institusi), hargailah mereka yang berbeda pendapat dan memberi kritik kepada koalisi dan institusi.

DW

"Roda kehidupanku telah berhenti. Temanku hanyalah sedih sunyi. Aku bermadah untuk mencumbu sepi. Akankah nyanyi usir perih bergulir pergi?"
Puisi pendek itu ditulis oleh (almarhum) sahabat sekaligus guru saya bernama DJOKO WITARKO yang akrab dipanggil banyak temannya sebagai DW.
Ditulis di saat ginjalnya hanya tinggal berfungsi sekitar 5%, sehingga seminggu 2 kali dia harus melakukan terapi cuci darah, suatu kondisi yang seringkali membuat penderita gagal ginjal merasa hidupnya tak lagi punya arti.

Walau puisinya menuangkan jeritan yang seolah hidupnya tiada arti lagi, namun saya menemukan pengalaman-pengalaman yang sebaliknya dalam perjalanan hidupnya. Tahun 2002, kami berdua memfasilitasi pelatihan untuk mitra-mitra program ACCESS - AusAID di Bali, meskipun kedua matanya tak berfungsi dengan baik. Tahun 2006 dan 2007 saya diajaknya memfasilitasi beberapa pelatihan bersama Dutchbank dan BINA SWADAYA untuk LSM-LSM di NAD dan juga bersama Depnakertrans untuk beberapa komunitas transmigran. Dengan mengatur jadwal, menyesuaikan jadwal cuci darah yang mesti dilakukannya, dia terus berkomitmen untuk pemberdayaan masyarakat yang menjadi lahan pengabdian hidupnya. Ia menegaskan, bahwa dengan keterbatasannya, seorang penyandang gagal ginjal tetap bisa berkarya untuk sesama. Dan, ia pun mengkampanyekan hal itu dengan mengunjungi mereka yang menyandang gagal ginjal. Saya pernah diajaknya mengunjungi seorang penyandang gagal ginjal di Medan. Dan saya juga pernah mendengar ceritanya ketika ia membatalkan kehadirannya dalam acara ulang tahun ke 70 salah satu tokoh pemberdayaan masyarakat yakni pak BAMBANG ISMAWAN, juga karena ada seorang penderita gagal ginjal yang ingin ia berkunjung ke rumahnya. Pengabdian kepada sesama tanpa henti, tanpa terhalang raga yang ringkih.

Bukan itu saja, catatan yang diberikannya kepada saya. Catatan lain yang teramat berharga darinya yang selalu saya coba tanamkan dalam diri saya adalah: Hemat dan cermat berbicara. Berbicaralah yang benar-benar bermanfaat bagi kehidupan bersama, dan jangan melukai sesama. Catatan yang tak terlupakan pula adalah: Hargailah siapa pun yang kau temui, karena dari setiap perjumpaan kita bisa belajar, memperoleh pencerahan dan bekal hidup untuk kehidupan yang lebih baik ke depan.

Mas DW telah pergi, tapi nilai-nilai dirinya tetap tinggal di hati, semoga bisa kuikuti sembari kulengkapi.

Senin, 18 Januari 2010

LOWONGAN KERJA


Frasa LOWONGAN KERJA mungkin merupakan satu dari sedikit frasa yang sangat populer dalam kehidupan manusia. Ini wajar, karena dalam kehidupannya, manusia tidak bisa tidak haruslah mencari dan mencari pekerjaan, baik untuk mencari penghasilan ataupun untuk aktualisasi diri. Dalam rangka mencari pekerjaan itu, manusia sangatlah sensitif dengan frasa LOWONGAN KERJA. Setiap hari selalu ada orang yang mencari dan mencari LOWONGAN KERJA. Karena populernya frasa tersebut, maka frasa ini bisa juga digunakan untuk memandu orang lain masuk ke tempat kita. Coba, misalnya di depan kantor kita taruh tulisan ADA LOWONGAN KERJA. Kemungkinan besar, bahkan ada yang mengatakan pasti, akan datang orang ke kantor kita dan menanyakan tentang lowongan kerja itu. Karenanya, ada yang membisikkan kepada saya untuk membuat tulisan ini, lalu menempatkannya di blog saya, sehingga kalau ada orang masuk ke mesin pencari lalu menjelajah untuk menemukan LOWONGAN KERJA, ada kemungkinan orang tersebut masuk ke blog saya. Nah, bila anda adalah salah satu dari orang tersebut, janganlah marah. Marah tak akan menyelesaikan masalah. Lebih baik anda melanjutkan penjelajahan ke blog saya, siapa tahu anda ketemu ilham untuk menciptakan pekerjaan atau menemukan pekerjaan. Minimal, saya akan berdoa untuk kesuksesan anda, kesuksesan kita semua.

PASTI PAS


Kalau kita hendak mengisi BBM di SPBU, kita sering ketemu label PASTI PAS. Label ini memang tidak melekat di setiap SPBU, karena nampaknya perlu proses administratif tertentu untuk memperolehnya.

Yang menjadi pertanyaan saya justru tentang ketepatan penempatan label tersebut pada SPBU-SPBU tertentu. Sebab, kalau tidak salah semua SPBU alat ukurnya selalu ditera secara periodik oleh lembaga metrologi. Nah, kalau sudah ada institusi tertentu yang melakukan pengontrolan terhadap ketepatan alat ukur di SPBU, mengapa masih ada labelisasi PASTI PAS? Apakah hal ini tidak akan menimbulkan tafsir, bahwa yang tidak pakai label PASTI  PAS itu tidak pas pengukurnya. Lha, kalau ada yang tidak pas, bagaimana dengan tera yang dilakukan lembaga metrologi? Bingung saya!

JANGAN GUNAKAN KATA MARKUS


Belakangan ini kata MARKUS sering digunakan untuk menyingkat sebutan MAKELAR KASUS. Penggunaan kata MARKUS untuk menyingkat MAKELAR KASUS tidaklah santun/sopan, karena MARKUS adalah nama salah satu murid YESUS yang tentunya sangat dihormati umat Kristiani, sementara MAKELAR KASUS adalah sebutan untuk individu yang melanggar hukum.

Keberatan serupa layak juga diangkat untuk penggunaan kata PETRUS sebagai singkatan PENEMBAKAN MISTERIUS, karena PETRUS juga salah satu murid YESUS, sementara PENEMBAKAN MISTERIUS merupakan tindakan melanggar hukum. Daftar ini bisa terus diperpanjang, karena ada pula singkatan-singkatan lain yang kurang santun/sopan, sehingga bisa menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu.


Mari, kita cari singkatan-singkatan yang tak menyinggung.