Kamis, 10 September 2009

TENTANG KESETARAAN JENDER DAN MENGHORMATI HAK ANAK

Gema keseteraan jender dan penghormatan hak anak terus bergaung dan tambah bergaung. Ini adalah fenomena yang tak bisa dihindarkan, karena dengan pengetahuan dan kesadaran manusia yang terus berkembang pastilah sampai pada saatnya tumbuh pemikiran-pemikiran baru tentang hak yang semestinya dimiliki setiap individu dan ditegakkan keberadaannya.
Isteri, bagi saya selaku suami, semestinya memang ditempatkan setara seperti halnya dikehendaki TUHAN. Isteri diambil dari tulang rusuk laki-laki yang berada di bagian tengah tubuh, bukan kaki di bawah dan bukan kepala di atas.
Secara rasional dan alami, dalam tugas melanjutkan keturunan umat manusia, laki-laki dan perempuan berada dalam posisi saling membutuhkan. Kelahiran anak-anak sebagai generasi penerus hanya dimungkinkan oleh kerjasama laki-laki dan perempuan. Laki-laki tak bisa melakukannya sendiri.
Kesetaraan yang diperjuangkan para perempuan juga tak pernah punya niat untuk menjungkirbalikkan keadaan di mana perempuan menjadi penindas laki-laki, pada banyak fakta yang berabad-abad terjadi perempuan dieksploitasi dan ditindas lelaki. Tak ada dendam para perempuan, mereka hanya memperjuangkan kesetaraan atau kesejajaran.
Anak-anak, adalah titipan Sang Khalik kepada para orangtua. Khahlil Gibran menegaskan anak-anak adalah milik SANG KEHIDUPAN. Orang tua ditugaskan menjadi busur untuk membantu anak-anak sebagai anak panah meluncur menuju sasaran. Orang tua bukanlah sang pembidik yang menentukan ke mana anak panah harus meluncur.
Memang, tak mudah menghayati dan mengamalkan prinsip kesetaraan jender dan penghormatan pada hak anak di dalam keluarga. Saya punya pengalaman yang teramat sulit yang saya alami sekitar 8 tahun terakhir. Tahun 2001 isteri saya memutuskan melanjutkan studi S-2 di Salatiga sebagai salah satu haknya sebagai makhluk pembelajar, dan anak-anakpun juga ikut pindah ke Salatiga, sementara saya bekerja di Jakarta. Keterpisahan tempat tinggal sungguh menjadi beban teramat berat bagi saya. Kesempatan untuk berbagi suka-duka kehidupan menjadi sangat terbatas. Ketika isteri sudah selesai studi pun, permasalahan tak kunjung selesai, karena Avi (anak perempuan saya) menegaskan dia ingin tetap di Salatiga. Ini adalah bagian dari hak anak yang mesti dihormati.
Jadi, menghormati prinsip kesetaraan jender dan menghormati hak anak bukanlah hal yang mudah, bahkan kadang terasa sangat berat. Tapi, cobalah kita berhenti dan mundur ke belakang sejenak, lalu bertanya: Bagaiamana derita para perempuan dan anak-anak masa lalu yang tak memperoleh hak-haknya? Bagaimana dulu para ibu bangun paling pagi dan tidur paling malam untuk menyelesaikan sekian banyak pekerjaan rumah tangga? Bagaimana dulu anak-anak tak boleh berpendapat tentang apa pun, semua diatur orangtua? Bagaimana para anak perempuan tak disekolahkan, hanya anak laki-laki yang diberi kesempatan? Saya sering merenungkan hal ini, tentu tidak disertai kemarahan pada orang tua, karena saya sadar orang tua saya saat itu tak memiliki pemahaman yang cukup tentang hal ini.
Telah banyak derita perempuan dan anak-anak di masa lalu (bahkan masih juga terjadi hingga kini), dalam banyak hal, dalam hitungan waktu yang sekian lama. Maka, jika kini merasakan derita karena penghargaan terhadap kesetaraan jender dan hak-hak anak, kita bisa bandingkan dengan derita sekian banyak dan sekian lama yang dialami perempuan dan anak-anak. Masih terlampau kecil derita laki-laki karena kesadaran baru ini. Jadi, perjuangan kesetaraan jender dan penghormatan hak anak harus terus dilanjutkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar