Jumat, 23 April 2010

MASIHKAH ADA HARAPAN?

Masihkah ada harapan cerah di negeri ini? Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun sepanjang hidupku, aku merenungkan itu?
Dan, ... sebagian besar berakhir dengan: pesimisme dan ketidakyakinan.

Cobalah kita lihat, setiap masa melahirkan para aktifis idealis yang dengan lantang dan meyakinkan melawan ketidakadilan, ketidakbenaran, ketimpangan dan banyak hal yang harus dibenahi di negeri ini. Tapi, masa demi masa berlalu, teriakan lantang dan meyakinkan itu berlalu, bahkan sebagian yang berteriak lantang dan meyakinkan itu juga tenggelam dalam ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketimpangan.
Maka, ketika suatu masa bergema semangat PANGKAS SATU GENERASI, aku langsung berkeyakinan itu bukan solusi. Karena pergantian generasi telah memberi bukti nyaris tak ada perubahan berarti atau bahkan lebih ngeri.

Korupsi semakin nggegirisi (bahasa Jawa, artinya: menakutkan, mengerikan) menggerogoti negeri.
Bukan hanya besarnya uang yang dikorupsi, tetapi juga jumlah orang yang melakukan korupsi semakin bertambah dan bertambah. Saya juga ketularan, minimal korupsi waktu kerja, seperti saat menulis catatan ini.

Sekarang ini, di mana bisa kita temui lembaga yang benar-benar bebas korupsi. Di dunia konglomerasi, birokrasi, sampai ke organisasi-organisasi, kampus, sekolah bahkan di dalam keluarga sekalipun.

Bukan hanya korupsi, tetapi juga kriminalitas yang lain, pelanggaran HAM, KDRT dan banyak lagi.
Duh Gusti, jaman apakah ini? Jaman edan? Bukan! Karena semua melakukannya dengan penuh kesadaran, bukan karena gila.

Menegur dan mengingatkan juga nyaris tak lagi berguna. Sebagian karena tak didengar, sebagian didengar tapi tak dilakukan, sebagian dijawab: Ah, semua melakukannya kok, mosok saya harus bersih sendirian.

Lembaga-lembaga keagamaan juga nyaris tak mampu berkontribusi. Orang-orang berbondong-bondong dan rajin sembahyang, ibadah dan manggut-manggut mendengarkan kotbah bahkan kadang berlinangan air mata, tetapi sesaat kemudian lupa atau menutup mata melihat atau bahkan melakukan kejahatan.

Jadi, apakah kita hanya bisa terdiam, menunggu, dalam ketidakpastian dan pesimisme, sembari mengingat petuah Jawa kuno: Hamenangi jaman edan, yen ora edan ora keduman, nanging sak beja-bejane sing lali isih luwih beja sing eling lan waspada. Lalu terdengarlah para warga yang miskin dan tertinggal bersenandung tembang begini: Cilik mula cilaka wak mami, manggung dadi lakon, nista papa wus nglakoni kabeh, amung loro kang durung nglakoni: mukti klawan mati, pundi marginipun? 
[Sedari kecil sengsara hidupku, selalu jadi pelaku (penderita), hidup penuh nista dan papa sudah dirasakan semua, cuma dua yang belum dirasakan: hidup berada dan mati, di manakah jalannya?]
Jalan untuk hidup lebih baik sulit ditemui, bahkan jalan untuk mati pun tak mudah didapatkan, tentunya mati dengan harkat kemanusiaan yang selayaknya.

Duh Gusti!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar